Minggu, 18 November 2012

Kedudukan Dan Fungsi Hadist


1.  Kedudukan Hadits
Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukannya setelah al- Qur’an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam – baik berupa perintah maupun larangannya – sama halnya dengan kewajiban mengikuti al-Qur’an. Hal ini karena, hadits merupakan mubayyin terhadap al-Qur’an, yang karenanya siapapun tidak akan bisa memahami al-Qur’an tanpa memahami dan menguasai hadits . Begitu pula kita tidak akan memahami hadits tanpa al-Qur’an. Karena al- Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar syari’at. Dengan demikian, antara hadits dengan al-Qur’an memiliki kaitan sangat erat, yang untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Adapun kedudukan hadits sebagai sumber hukum ajaran Islam dapat dilihat dari beberapa dalil naqli (sumber yang menunjukkannya berdasarkan al-Qur’an dan Hadits) dan dalil ‘aqli (sumber yang menunjukkannya berdasarkan rasional), dibawah ini :
a. Dalil al-Qur’an
Banyak ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban untuk tetap teguh beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Selain Allah memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan agar mentaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat kepada Rasul SAW ini sama halnya tuntutan taat kepada Allah SWT. Ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah ini antara lain :
Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 32 :
قل أطيع الله والرسول ج فان تولوا فإن الله لا يحب الكافرين
Katakanlah! Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”
Dari ayat al-Qur’an diatas dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa ketaatan kepada Rasul SAW adalah mutlak, sebagaimana ketaatan kepada Allah. Begitu pula dengan ancaman atau peringatannya bagi yang durhaka; Ancaman Allah SWT sering disejajarkan dengan ancaman karena durhaka kepada Rasul-Nya.
Ada banyak ayat juga yang memerintahkan mentaati Rasul-Nya secara terpisah. Seperti pada surat an-Nisa’ ayat 80 : bahwa manifestasi dari ketaatan kepada Allah, adalah dengan mentaati Rasul-Nya, firman-Nya :
من يطع الرسول فقد اطاع الله
“Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah….”
Ungkapan-ungkapan pada beberapa ayat diatas, menunjukkan betapa pentingnya kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam, yang dimanifestasikan dalam bentuk aqwal, af’al, dan taqrir Rasul SAW.

b. Dalil Hadits Rasul SAW
Banyak hadits yang menunjukkan perlunya ketaatan kepada Rasul SAW. Dalam salah satu pesannya, berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping al-Qur’an, beliau bersabda :
تركت فيكم امرين لم تضلوا أبدا ما ان تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله (رواه الحاكم
Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang pada keduanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (al-Qur’an ) dan sunnah Rasul-Nya.” (H.R. al-Hakim dari Abu Hurairah(
Dalam salah satu taqrir Nabi SAW juga memberikan petunjuk kepada umat Islam, bahwa dalam menghadapi berbagai persoalan hukum dan kemasyarakatan, kedua sumber ajaran, yakni al-Qur’an dan hadits merupakan sumber asasi. Ini seperti terlihat pada dialog antara Nabi SAW dengan Mu’adz ibn Jabal menjelang keberangkatannya ke Yaman sebagai hakim.rasul dengan ini membenarkan semua jawaban mu’adz.
c. Kesepakatan Ulama (ijma’)
Umat Islam, telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum dalam beramal, kecuali mereka para penyimpang dan pembuat kebohongan. Penerimaan mereka terhadap hadits sama seperi penerimaan mereka terhadap al-Qur’an, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum Islam.
Kesepakatan umat Islam dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung didalam hadits berlaku sepanjang zaman, sejak Nabi masih hidup dan sepeninggalnya, masa khulafa’ ar-rasyidin, tabi’in, tabi’u tabi’in, atba’u tabi’i tabi’in, serta masa-masa selanjutnya, dan tidak ada yang mengingkarinya sampai sekarang. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi mereka menghafal memelihara, dan menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya, sehingga tidak ada satu hadits pun yang tercecer dari pemeliharaanya dan tidak ada satu hadits palsu pun yang dapat mengotorinya.
Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain dapat diperhatikan pada peristiwa di bawah ini :
1. Ketika Abu Bakar di bai’at menjadi khalifah, ia pernah berkata “Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya
2. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata: “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.
3. Pernah ditanyakan kepada ‘Abdullah bin Umar tentang ketentuan shalat safar dalam al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab: “Allah SWT. telah mengutus Nabi Muhammad SAW. kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana duduknya Rasulullah SAW., saya makan sebagaimana makannya Rasulullah SAW dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul”
4. Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa “Usman bin ‘Affan berkata: “Saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah SAW., saya makan sebagaimana makannya Rasulullah, dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul”.
Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan, dilakukan dan diserukan, niscaya diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh mereka.
d. Sesuai dengan petunjuk akal
Kerasulan Nabi Muhammad SAW. telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT., baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada nash yang menasakhnya.
Bila kerasulan Muhammad SAW. telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya segala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau atas hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Disamping itu secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW. sebagai Rasul mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah al-Qur’an. Sedangkan bila dilihat dari segi kehujjahannya, hadits melahirkan hukum zhanny, kecuali hadits yang mutawatir.
2. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat global, yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Oleh karena itulah kehadiran hadits, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi al-Qur’an tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 44, yaitu :
وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون
“……. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir.”
Allah menurunkan al-Qur’an bagi umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat difahami oleh manusia, maka Nabi SAW. diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadits -hadits nya.
Oleh karena itu, fungsi hadits sebagai penjelas terhadap al-Qur’an itu bermacam-macam. Malik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayan at-taqrir, bayan at-tafsir, bayan at-tafshil, bayan al-basth, bayan at-tasyri’.as-Syafi’i menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan at-tafshil, bayan at-takhshish, bayan at-ta’yin, bayan at-tasyri’ dan bayan an-nasakh. Dalam “ar-Risalah” ia menambahkan dengan bayan al-isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri, dan bayan al-takhsish.
1. Bayan at-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an.
Contoh, surat al-Ma’idah ayat 6 tentang keharusan berwudhu’ sebelum shalat, yang berbunyi:
يأيها الذين أمنوا إذا قمتم الى الصلوة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم الى المرافق وامسحوا برؤسكم وأرجلكم الى الكعبين
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki….
Ayat diatas di-taqrir oleh hadits riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تقبل صلاة من احدث حتى يتوضأ
Rasul SAW. telah bersabda: tidak diterima sholat seseorang yang berhadas sebelum dia berwudlu.”
Menurut sebagian ulama, bahwa bayan taqrir atau bayan ta’kid ini disebut juga dengan bayan al-muwafiq li-nash al-Kitab al-Karim. Hal ini dikarenakan munculnya hadits-hadits itu sesuai dan untuk memperkokoh nash al-Qur’an.
2. Bayan al-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir, adalah bahwa hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), mamberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlaq, dan mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum. Di antara contoh tentang ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan sholat, puasa, zakat, disyari’atkannya jual beli, nikah, qishas, hudud dan sebagainya. Ayat-ayat al-Qur’an tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syarat atau halangan-halangannya. Oleh karena itulah Nabi SAW. melalui hadits nya menafsirkan dan menjelaskan masalah-masalah tersebut. Sebagai contoh dibawah ini akan dikemukakan beberapa hadits yang berfungsi sebagai bayan al-tafsir:
a. Memerinci ayat-ayat yang Mujmal
Mujmal artinya: ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat terkandung banyak makna yang perlu dijelaskan. Hal ini kerena, belum jelas makna mana yang dimaksudkannya, kecuali setelah adanya penjelasan atau perincian. Dengan kata lain, ungkapan masih bersifat global yang memerlukan mubayyin.
Contoh sabda Nabi SAW tentang cara mengerjakan sholat:
صلوا كما رأيتمونى أصلى
Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat”.
Hadits ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah ayat 43 dalam surat al-Baqarah yang berbunyi:
وأقيموا الصلوة وأتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين.
"Dan kerjakanlah shalat, tunaikan zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.
b. Men-taqyid ayat- ayat yang mutlaq
Mutlaq artinya: kata yang menunujuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid yang mutlaq, artinya membatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu.
Sedangkan contoh hadits yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, antara lain seperti sabda Nabi SAW:
لا تقطع يد السارق الا فى ربع دينار فصاعدا
Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih.”
Hadits diatas digunakan mentaqyid ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:
السارق و السارقة فاقطوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالا من الله و الله عزيز حكيم
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah maha mulia dan maha bijaksana” 
c. Men-takshish ayat yang ‘Am
‘Am ialah : kata yang menunjuk atau memiliki makna dalam jumlah yang banyak. Sedang kata takhshish atau khas, ialah kata yang menunjuk arti khusus, tertentu, atau tunggal. Yang dimaksud mentakhshish yang ‘am disini ialah membatasi keumuman ayat al-qur’an sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu.
Contoh hadits yang berfungsi untuk mentakhshish keumuman ayat-ayat al-Qur'an, ialah sabda Nabi SAW. Yang berbunyi :
لا يرث القاتل من الممقتول شيئا
Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan.”
Hadits tersebut mentakhshish keumuman firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi:
يوصكم الله فى أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين
Allah mensyari’atkan bagimu tentang ( pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.”
3. Bayan at-Tasyri’
Kata at-tasyri’ artinya ialah, pembuatan, mewujudkan, atau menetapkan aturan atau hukum. Maka yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ disini, ialah penjelasan hadits yang berupa mewujudkan, mengadakan, atau menetapkan suatu hukum, atau aturan-aturan syara’ yang tidak didapati nashnya dalam al-Qur’an. Hadits Nabi SAW. dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi’li maupun taqriri) berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul pada saat itu, denhan sabdanya sendiri.
Banyak hadits Nabi SAW. yang termasuk ke dalam kelompok ini diantaranya, hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina yang masih perawan, hukum membasuh bagian atas sepatu dalam berwudlu, hukum tentang ukuran zakat fitrah, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak.
Suatu contoh, hadits tentang zakat fitrah, sebagai berikut:
إن رسول الله صلى الله عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كل حر أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين
Bahwasannya Rasul SAW. telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan muslim.”
Hadits Nabi SAW yang termasuk bayan at-tasyri’, wajib diamalkan, sebagaimana kewajiban mengamalkan hadits-hadits lainnya. Ibnu al-Qayyim berkata, bahwa hadits-hadits Nabi SAW. yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Nabi SAW) mendahului al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah Nya.
4. Bayan an-Nasakh
Kata an-nasakh secara bahasa, mempunyai banyak arti. Bisa berarti al-Ibthal (membatalkan/menghapuskan), atau al-izalah (menghilangkan), atau an-naql (penukilan/penyalinan), atau at-taghyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifkannya. Termasuk perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin dengan ulama mutaqaddimin. Menurut pendapat yang dapat dipegang dari ulama mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena ada dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan Syari’ (pembuat syari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).
Intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas. Hadits sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada al-Qur’an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan al-Qur’an. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi bayan an-nasakh.
Diantara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadits terhadap al-Qur’an juga berbeda pendapat dalam macam hadits yang dapat dipakai untuk me-nasakh –nya. dalam hal ini mereka terbagi menjadi tiga kelompok:
a. Kelompok yang membolehkan menasakh al-Qur’an dengan segala hadits , meskipun dengan hadits ahad. Pendapat ini dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan ibn hazm serta sebagian pengikut zhahiriah.
b. Kelompok yang membolehkan menasakh dengan syarat, bahwa hadits tersebut harus mutawatir. Pendapat kaum Mu’tazilah.
c. Ulama yang membolehkan menasakh dengan hadits masyhur, tanpa dengan hadits mutawatir. Diantara ulama yang memegang pendapat ini adalah ulama Hanafiah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar