1. Kedudukan
Hadits
Seluruh umat Islam, telah sepakat
bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati
kedudukannya setelah al- Qur’an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam –
baik berupa perintah maupun larangannya – sama halnya dengan kewajiban mengikuti
al-Qur’an. Hal ini karena, hadits merupakan mubayyin terhadap al-Qur’an,
yang karenanya siapapun tidak akan bisa memahami al-Qur’an tanpa memahami dan
menguasai hadits . Begitu pula kita tidak akan memahami hadits tanpa al-Qur’an.
Karena al- Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis
besar syari’at. Dengan demikian, antara hadits dengan al-Qur’an memiliki kaitan
sangat erat, yang untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa berjalan
sendiri-sendiri.
Adapun kedudukan hadits sebagai
sumber hukum ajaran Islam dapat dilihat dari beberapa dalil naqli (sumber yang
menunjukkannya berdasarkan al-Qur’an dan Hadits) dan dalil ‘aqli (sumber yang
menunjukkannya berdasarkan rasional), dibawah ini :
a. Dalil al-Qur’an
Banyak ayat al-Qur’an yang
menerangkan tentang kewajiban untuk tetap teguh beriman kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya. Selain Allah memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul SAW,
juga menyerukan agar mentaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan
yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat kepada
Rasul SAW ini sama halnya tuntutan taat kepada Allah SWT. Ayat al-Qur’an yang
berkenaan dengan masalah ini antara lain :
Firman Allah dalam surat Ali Imran
ayat 32 :
قل أطيع الله والرسول ج فان تولوا فإن الله لا يحب الكافرين
“Katakanlah!
Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir.”
Dari ayat al-Qur’an diatas dapat
ditarik suatu pemahaman, bahwa ketaatan kepada Rasul SAW adalah mutlak, sebagaimana
ketaatan kepada Allah. Begitu pula dengan ancaman atau peringatannya bagi yang
durhaka; Ancaman Allah SWT sering disejajarkan dengan ancaman karena durhaka
kepada Rasul-Nya.
Ada banyak ayat juga yang
memerintahkan mentaati Rasul-Nya secara terpisah. Seperti pada surat an-Nisa’
ayat 80 : bahwa manifestasi dari ketaatan kepada Allah, adalah dengan mentaati
Rasul-Nya, firman-Nya :
من يطع الرسول فقد اطاع الله
“Barang siapa yang mentaati Rasul
itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah….”
Ungkapan-ungkapan pada beberapa
ayat diatas, menunjukkan betapa pentingnya kedudukan hadits sebagai sumber
ajaran Islam, yang dimanifestasikan dalam bentuk aqwal, af’al, dan taqrir
Rasul SAW.
b. Dalil Hadits Rasul SAW
Banyak hadits yang menunjukkan
perlunya ketaatan kepada Rasul SAW. Dalam salah satu pesannya, berkenaan dengan
keharusan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping al-Qur’an, beliau
bersabda :
تركت فيكم امرين لم تضلوا أبدا ما ان تمسكتم بهما كتاب الله
وسنة رسوله (رواه الحاكم
“Aku
tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang pada keduanya, niscaya
tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (al-Qur’an ) dan sunnah Rasul-Nya.”
(H.R. al-Hakim dari Abu Hurairah(
Dalam salah satu taqrir Nabi
SAW juga memberikan petunjuk kepada umat Islam, bahwa dalam menghadapi berbagai
persoalan hukum dan kemasyarakatan, kedua sumber ajaran, yakni al-Qur’an dan
hadits merupakan sumber asasi. Ini seperti terlihat pada dialog antara Nabi SAW
dengan Mu’adz ibn Jabal menjelang keberangkatannya ke Yaman sebagai hakim.rasul
dengan ini membenarkan semua jawaban mu’adz.
c. Kesepakatan Ulama (ijma’)
Umat Islam, telah sepakat
menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum dalam beramal, kecuali mereka
para penyimpang dan pembuat kebohongan. Penerimaan mereka terhadap hadits sama
seperi penerimaan mereka terhadap al-Qur’an, karena keduanya sama-sama
dijadikan sebagai sumber hukum Islam.
Kesepakatan umat Islam dalam
mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung didalam
hadits berlaku sepanjang zaman, sejak Nabi masih hidup dan sepeninggalnya, masa
khulafa’ ar-rasyidin, tabi’in, tabi’u
tabi’in, atba’u tabi’i tabi’in, serta masa-masa selanjutnya, dan tidak ada
yang mengingkarinya sampai sekarang. Banyak diantara mereka yang tidak hanya
memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi mereka menghafal
memelihara, dan menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya, sehingga
tidak ada satu hadits pun yang tercecer dari pemeliharaanya dan tidak ada satu
hadits palsu pun yang dapat mengotorinya.
Banyak peristiwa menunjukkan adanya
kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain dapat
diperhatikan pada peristiwa di bawah ini :
1. Ketika Abu Bakar di bai’at menjadi khalifah, ia
pernah berkata “Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang
diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah sesungguhnya saya takut tersesat bila
meninggalkan perintahnya
2. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata:
“Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah
menciummu, saya tidak akan menciummu.
3. Pernah ditanyakan kepada ‘Abdullah bin Umar tentang
ketentuan shalat safar dalam al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab: “Allah SWT. telah
mengutus Nabi Muhammad SAW. kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka
sesungguhnya kami berbuat sebagaimana duduknya Rasulullah SAW., saya makan
sebagaimana makannya Rasulullah SAW dan saya shalat sebagaimana shalatnya
Rasul”
4. Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa “Usman bin
‘Affan berkata: “Saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah SAW., saya makan
sebagaimana makannya Rasulullah, dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul”.
Masih banyak lagi contoh-contoh
yang menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan, dilakukan dan diserukan, niscaya
diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh mereka.
d. Sesuai dengan petunjuk akal
Kerasulan Nabi Muhammad SAW. telah
diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu,
kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah
SWT., baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri
dengan bimbingan dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad
semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga
tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada
nash yang menasakhnya.
Bila kerasulan Muhammad SAW. telah
diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya segala peraturan dan
perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas
bimbingan ilham atau atas hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber
hukum dan pedoman hidup. Disamping itu secara logika kepercayaan kepada Muhammad
SAW. sebagai Rasul mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala
ketentuan yang beliau sampaikan.
Dari uraian di atas dapat diketahui
bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang
menduduki urutan kedua setelah al-Qur’an. Sedangkan bila dilihat dari segi
kehujjahannya, hadits melahirkan hukum zhanny, kecuali hadits yang mutawatir.
2. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an dan hadits sebagai
pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan yang
lainnya tidak dapat dipisahkan. al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama
banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat global, yang perlu dijelaskan lebih
lanjut dan terperinci. Oleh karena itulah kehadiran hadits, sebagai sumber
ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi al-Qur’an
tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 44,
yaitu :
وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون
“……. Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir.”
Allah menurunkan al-Qur’an bagi
umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat difahami oleh manusia, maka Nabi SAW.
diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya
kepada mereka melalui hadits -hadits nya.
Oleh karena itu, fungsi hadits
sebagai penjelas terhadap al-Qur’an itu bermacam-macam. Malik bin Anas
menyebutkan lima macam fungsi, yaitu
bayan at-taqrir, bayan at-tafsir, bayan
at-tafshil, bayan al-basth, bayan at-tasyri’.as-Syafi’i menyebutkan lima
fungsi, yaitu
bayan at-tafshil, bayan at-takhshish, bayan at-ta’yin, bayan
at-tasyri’ dan bayan an-nasakh. Dalam “ar-Risalah” ia menambahkan dengan
bayan al-isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi, yaitu
bayan
al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri, dan
bayan al-takhsish.
1. Bayan at-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan
bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang dimaksud dengan bayan
ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam
al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan
al-Qur’an.
Contoh, surat al-Ma’idah ayat 6
tentang keharusan berwudhu’ sebelum shalat, yang berbunyi:
يأيها الذين أمنوا إذا قمتم الى الصلوة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم
الى المرافق وامسحوا برؤسكم وأرجلكم الى الكعبين
“ Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai kedua mata kaki….
Ayat diatas di-taqrir oleh
hadits riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تقبل صلاة من احدث حتى يتوضأ
“Rasul
SAW. telah bersabda: tidak diterima sholat seseorang yang berhadas sebelum dia
berwudlu.”
Menurut sebagian ulama, bahwa bayan
taqrir atau bayan ta’kid ini disebut juga dengan bayan al-muwafiq
li-nash al-Kitab al-Karim. Hal ini dikarenakan munculnya hadits-hadits itu
sesuai dan untuk memperkokoh nash al-Qur’an.
2. Bayan al-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan
al-tafsir, adalah bahwa hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan
penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal),
mamberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat
mutlaq, dan mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih
bersifat umum. Di antara contoh tentang ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal
adalah perintah mengerjakan sholat, puasa, zakat, disyari’atkannya jual beli,
nikah, qishas, hudud dan sebagainya. Ayat-ayat al-Qur’an tentang masalah ini
masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya,
syarat-syarat atau halangan-halangannya. Oleh karena itulah Nabi SAW. melalui
hadits nya menafsirkan dan menjelaskan masalah-masalah tersebut. Sebagai contoh
dibawah ini akan dikemukakan beberapa hadits yang berfungsi sebagai bayan
al-tafsir:
a. Memerinci ayat-ayat yang Mujmal
Mujmal artinya: ringkas atau
singkat. Dari ungkapan yang singkat terkandung banyak makna yang perlu
dijelaskan. Hal ini kerena, belum jelas makna mana yang dimaksudkannya, kecuali
setelah adanya penjelasan atau perincian. Dengan kata lain, ungkapan masih
bersifat global yang memerlukan mubayyin.
Contoh sabda Nabi SAW tentang cara
mengerjakan sholat:
صلوا كما رأيتمونى أصلى
“Shalatlah
sebagaimana engkau melihat aku shalat”.
Hadits ini menjelaskan bagaimana
mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah
satu ayat yang memerintahkan shalat adalah ayat 43 dalam surat al-Baqarah yang
berbunyi:
وأقيموا الصلوة وأتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين.
"Dan
kerjakanlah shalat, tunaikan zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang
ruku’.
b. Men-taqyid ayat- ayat
yang mutlaq
Mutlaq artinya: kata yang menunujuk
pada hakikat kata itu sendiri apa adanya tanpa memandang kepada jumlah maupun
sifatnya. Men-taqyid yang mutlaq, artinya membatasi ayat-ayat yang mutlaq
dengan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu.
Sedangkan contoh hadits yang
membatasi (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, antara lain
seperti sabda Nabi SAW:
لا تقطع يد السارق الا فى ربع دينار فصاعدا
“Tangan
pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai) seperempat
dinar atau lebih.”
Hadits diatas digunakan mentaqyid
ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:
السارق و السارقة فاقطوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالا من الله
و الله عزيز حكيم
“Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan
Allah maha mulia dan maha bijaksana”
c. Men-takshish ayat yang ‘Am
‘Am ialah : kata yang menunjuk atau
memiliki makna dalam jumlah yang banyak. Sedang kata takhshish atau khas, ialah
kata yang menunjuk arti khusus, tertentu, atau tunggal. Yang dimaksud mentakhshish
yang ‘am disini ialah membatasi keumuman ayat al-qur’an sehingga tidak berlaku
pada bagian-bagian tertentu.
Contoh hadits yang berfungsi untuk
mentakhshish keumuman ayat-ayat al-Qur'an, ialah sabda Nabi SAW. Yang berbunyi
:
لا يرث القاتل من الممقتول شيئا
“ Pembunuh
tidak berhak menerima harta warisan.”
Hadits tersebut mentakhshish
keumuman firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi:
يوصكم الله فى أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين
“Allah
mensyari’atkan bagimu tentang ( pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu anak
laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.”
3. Bayan at-Tasyri’
Kata at-tasyri’ artinya ialah,
pembuatan, mewujudkan, atau menetapkan aturan atau hukum. Maka yang dimaksud
dengan bayan at-tasyri’ disini, ialah penjelasan hadits yang berupa mewujudkan,
mengadakan, atau menetapkan suatu hukum, atau aturan-aturan syara’ yang tidak
didapati nashnya dalam al-Qur’an. Hadits Nabi SAW. dalam segala bentuknya (baik
yang qauli, fi’li maupun taqriri) berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum
terhadap berbagai persoalan yang muncul pada saat itu, denhan sabdanya sendiri.
Banyak hadits Nabi SAW. yang
termasuk ke dalam kelompok ini diantaranya, hadits tentang penetapan haramnya
mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum
syuf’ah, hukum merajam pezina yang masih perawan, hukum membasuh bagian atas
sepatu dalam berwudlu, hukum tentang ukuran zakat fitrah, dan hukum tentang hak
waris bagi seorang anak.
Suatu contoh, hadits tentang zakat
fitrah, sebagai berikut:
إن رسول الله صلى الله عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان على
الناس صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كل حر أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين
“Bahwasannya
Rasul SAW. telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan
satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau
hamba, laki-laki atau perempuan muslim.”
Hadits Nabi SAW yang termasuk bayan
at-tasyri’, wajib diamalkan, sebagaimana kewajiban mengamalkan hadits-hadits
lainnya. Ibnu al-Qayyim berkata, bahwa hadits-hadits Nabi SAW. yang berupa
tambahan terhadap al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus
ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Nabi
SAW) mendahului al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah Nya.
4. Bayan an-Nasakh
Kata an-nasakh secara bahasa,
mempunyai banyak arti. Bisa berarti al-Ibthal (membatalkan/menghapuskan), atau
al-izalah (menghilangkan), atau an-naql (penukilan/penyalinan), atau at-taghyir
(mengubah). Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini banyak yang melalui
pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam
menta’rifkannya. Termasuk perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin dengan
ulama mutaqaddimin. Menurut pendapat yang dapat dipegang dari ulama
mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena ada dalil syara’ yang mengubah
suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya
serta tidak bisa diamalkan lagi, dan Syari’ (pembuat syari’at) menurunkan ayat
tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).
Intinya ketentuan yang datang
kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang terdahulu, karena yang
terakhir dipandang lebih luas. Hadits sebagai ketentuan yang datang kemudian
daripada al-Qur’an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan
al-Qur’an. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi bayan
an-nasakh.
Diantara para ulama yang
membolehkan adanya nasakh hadits terhadap al-Qur’an juga berbeda pendapat dalam
macam hadits yang dapat dipakai untuk me-nasakh –nya. dalam hal ini
mereka terbagi menjadi tiga kelompok:
a. Kelompok yang membolehkan menasakh al-Qur’an dengan
segala hadits , meskipun dengan hadits ahad. Pendapat ini dikemukakan oleh para
ulama mutaqaddimin dan ibn hazm serta sebagian pengikut zhahiriah.
b. Kelompok yang membolehkan menasakh dengan syarat,
bahwa hadits tersebut harus mutawatir. Pendapat kaum Mu’tazilah.
c. Ulama yang membolehkan
menasakh dengan hadits masyhur, tanpa dengan hadits mutawatir.
Diantara ulama yang memegang pendapat ini adalah ulama Hanafiah